Orangtua kita zaman
dulu sangat menghargai nilai-nilai budaya yang diwariskan para leluhur. Maksudnya,
nilai-nilai budaya yang dicakupi budaya itu sendiri. Budaya dari berbagai
dimensinya. Di sini kita menyoroti etika yang mana di dalamnya berbicara
tentang nilai moral.
Berbicara tentang etika
mengarahkan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi kelaziman bagi orang
Manggarai. Misalnya, etika ‘reis’
alias budaya menyapa orang. Etika memanggil ‘Ite’ untuk orang yang lebih dituakan/sebutan bagi orang
‘yang’terhormat. Menyebut ‘Kraeng’ n Dalu untuk profesi seseorang. Masih banyak
nila-nilai etika yang lainnya.
Kearifan
tersebut tampaknya kian tersayat zaman. Entah kenapa? Orang bilang ‘mungkin
karena perkembangan zaman sehingga nilai-nilai kultur itu semakin tenggelam! Mungkin
ini benar juga, tapi di satu sisi tergantung dari kita sendiri bagaimana mempertahankan
keasliannya.
Resiko abad
postmodernisme demikian. Dunia semakin maju menuju budaya modern, sehingga
budaya asli terancam. Dari berbagai aspek budaya dalam suatu sistem sosial atau
masyarakat dikorbankan karena pengaruh eksternal atau budaya modern menembus
masuk sehingga mengubah tatanan yang telah ada.
Pengaruh budaya
modern menyodorkan realita akan nilai-nilai budaya kian terkikis. Realita sosial
yang kerap terjadi adalah ‘etika’ hampir jarang ditampilkan. Contohnya, ‘etika
‘menyebut ‘Ite’ untuk orang yang lebih tua. Bahkan untuk menyebut orangtua
sudah hampir tidak digunakan lagi kata itu. Kecenderungan menyebut ‘hau’ untuk
orang yang lebih tua, bahkan untuk menyebut kedua orangtua. Kesannya rada-rada kasar
dan kurang mengena dalam konteks etika budaya ‘sopan santun’ orang Manggarai. Ini
hanya sebagian contoh. Masih banyak nilai-nilai‘etika’ lain yang hampir sudah
tenggelam.
Kira-kira
bagaimana solusi tawaran untuk melanggengkan nilai-nilai etika tersebut??
Komentar
Posting Komentar