Bukan
tidak mungkin bahasa di Papua kehilangan
identitasnya. Satu penyebab utamanya adalah generasi muda semakin jarang aktif
berkomunikasi sosial dengan bahasa daerah setempat. Karena itu, perlu memperketat
pelestarian bahasa Daerah melalui kebijakan Pemerintah yang solid dan keaktifan keterlibatan pihak dan elemen
tertentu untuk mempertahankan identitas bahasa Daerah yang ada.
Dari
Sabang sampai Merauke, Negara kita ini memiliki ribuan bahasa daerah. Ini
berarti di dalamnya terbentang ribuan suku. Diantara bentangan ribuan suku ini belum
ada suku yang belum diinventarisir dengan baik untuk mempertegas jumlah
bahasanya.
Di
Papua, memiliki ratusan suku sehingga
bahasa yang dimiliki sejumlah suku yang ada. Papua beda dengan daerah lain di
Nusantara yang memiliki satu bahasa Daerah untuk mempersatukan suku-suku yang
tersebar. Sebab itu, tidak ada bahasa Papua kecuali bahasa di Papua. Di Papua
memiliki bahasa setiap suku walaupun jarak antara satu suku dengan suku yang lain sepelempar batu. Dari
keberagaman bahasa yang digunakan, menciptakan bahasa baru yang dapat dipahami masyarakat
secara luas untuk berinteraksi sosial. Bahasa baru yang kerap digunakan,
misalnya kitong (kami), kitorang (kita), dong (mereka). Sejauh ini, belum ditelusuri
kira-kira dari suku mana bahasa ini berasal.
Keprihatinan di tengah ragamnya
bahasa Daerah
Resiko
masyarakat multikultur berdasarkan pemakaian bahasa tiap suku di Papua didesak
oleh suatu keharusan untuk menggunakan satu bahasa sebagai sarana komunikasi
sosial dalam masyarakat Papua yang begitu luas, yaitu Bahasa Indonesia yang
dipoles dialek Papua sebagai bahasa pemersatu masyarakat Papua, alat pergaulan
dalam ruang sosial.
Keseringan
menggunakan bahasa Indonesia diantara keragaman suku berarti secara pelan-pelan
mengabaikan penggunaan bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian,
kearifan budaya lokal di Papua dari aspek kebahasaan menghadapi tantangan cukup
masif yang bermuara pada kehilangan sebagian identias budayanya. Tantangan ini
dipertegas dalam semakin banyaknya generasi baru yang mana sudah tidak lagi
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Hal ini berarti generasi baru
memoles nilai-nilai baru dalam masyarakatnya sendiri.
Salah
satu motif generasi muda menyingkirkan bahasa daerahnya sendiri adalah ketika
mereka masuk dalam ruang pergaulan sosial yang semakin luas. Sebab itu,
konsekuensinya adalah mereka melekatkan diri dengan bahasa Indonesia dan mengendorkan
penggunaan bahasa daerah setempat. Kondisi ini diperparah bagaimana generasi
baru yang sama sekali tidak menguasai bahasa Daerahnya sendiri. Hal ini
menyokong keterasingan identitas bahasa daerahnya sendiri.
Pemerintah Perlu Memperketat
Kebijakan
Pemerintah
sebagai otoritas tertinggi setidaknya berkebijakan untuk mengetatkan Peraturan
Daerah yang bisa saja direalisasikan melalui penetapan kurikulum bahasa daerah
di setiap jenjang pendidikan. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk membantu
meregenerasikan bahasa Daerah kepada generasi baru.
Ada
sejumlah tantangan apabila Pemerintah dan elemen terkait tidak membangun sebuah
pola aturan melindungi bahasa Daerah dari gerusan zaman. Pertama, generasi baru terancam kehilangan identitas budaya.
Maksudnya adalah keseluruhan cakupan budaya generasi baru yang sebagiannya
termanifestasi melalui bahasa daerah akan punah karena sudah tidak lagi
menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi dalam ruang sosial yang lebih
sempit. Kedua, generasi baru tidak
tahu menahu asal-usul daerahnya masing-masing karena tidak mengetahui bahasa
daerahnya. Generasi baru melebur diri dalam sebuah zaman beraksesori peradaban
baru tanpa menoleh ke belakang menilik sejarah.
Dua
tantangan besar ini kiranya menjadi bahan permenungan bagi pemegang kebijakan daerah
dan semua pihak.
Selain
diperketatkan melalui kebijakan Pemerintah Daerah, peran orangtua dalam
keluarga sebagai lembaga non formal sebenarnya yang lebih utama karena tidak
mesti diatur oleh kebijakan Pemerintah Daerah untuk mengajari anak-anaknya
berbahasa daerah.
Komentar
Posting Komentar