Beberapa kasus yang jelas-jelas terjadi dan menjadi temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta sikap dan pandangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) yang membenarkan adanya peristiwa tanpa ada unsur pelanggaran HAM atau hanya dikategorikan pelanggaran perinrah, justru mendapat tanggapan dari Imparsial Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor, bahwa Panglima TNI dan Komnas HAM tidak boleh permisif atau pasif terhadap para pelaku pelanggaran HAM.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Eksekutif Imparsial Indonesia, Poengky Indarti, dalam pressreleasenya yang diterima JUBI, di Jayapura, Jumat (7/1), sekaligus menjelaskan bahwa hasil pemantauan dan penyelidikan atas kekerasan yang dilakukan aparat TNI Batalyon 753/AVT di Puncak Jaya akhirnya selesai dilakukan oleh Komnas HAM, dimana dalam kesimpulannya Komnas menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM di Puncak Jaya.
"Dimana, Kasus-kasus itu meliputi pertama, peristiwa pembunuhan terhadap Pendeta Kinderman Gire; Kedua, peristiwa video tindak kekerasan dalam pelaksanaan operasi keamanan, serta ketiga, peristiwa video tindak kekerasan dalam proses interogasi," tulis Poengky dalam releasenya.
Imparsial menilai temuan Komnas HAM atas terjadinya kekerasan di Puncak Jaya merupakan sesuatu hal yang belum tuntas dan harus segera ditindaklanjuti. Di sini, Komnas HAM perlu secara lebih aktif dan lebih serius didalam menindaklanjuti rangkaian kasus kekerasan yang terjadi.
"Komnas HAM tidak boleh ragu-ragu apalagi permisif dalam melakukan proses pengungkapan kasus-kasus yang terjadi. Ketegasan Komnas HAM dalam menindaklanjuti hasil temuannya menjadi langkah penting pengungkapan kasus yang terjadi," pesannya.
Mneurutnya, terhadap kasus-kasus yang belum tuntas penyelesaiannya, sangat penting bagi Komnas HAM untuk bertindak pro-aktif dalam mengungkap terjadinya kekerasan dalam kasus-kasus tersebut dan menemukan para pelakunya. "Apalagi proses persidangan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota militer yang terjadi selama ini hanya mengadili tindakan insubordinasi dan indisipliner, dan tidak mengadili kejahatan penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI,"
Imparsial, yang juga sebuah LSM yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia ini, mendesak kepada Panglima TNI untuk tidak bersikap permisif apalagi melindungi para pelaku kekerasan yang melibatkan anggota militer.
"Kami mengecam sikap Panglima TNI yang menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM pada peristiwa kekerasan yang terjadi di Puncak Jaya, meski dikemudian hari Panglima mengakui telah terjadi Pelanggaran HAM di sana," tegasnya.
Dirinya meminta, pentingnya bagi Panglima TNI untuk memahami bahwa tidak ada alasan apapun yang dapat dibenarkan untuk melakukan tindakan pelanggaran HAM. "Panglima TNI seharusnya tidak menjadikan kompleksitas situasi dan kondisi yang terjadi di Puncak Jaya sebagai dalih pembenar untuk bersikap permisif terhadap anggotanya yang melakukan tindakan kekerasan di Papua," katanya.
Pihaknya mengecam sikap Panglima yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan militer lebih berat hukumannya daripada hukuman sipil. Meski tidak setara bila dibandingkan dengan pasal penganiayaan dalam KUHP, namun penting untuk dicermati bahwa hukuman bagi pelaku penganiayaan dalam KUHP adalah lima hingga tujuh tahun. Sedangkan dalam kasus kekerasan aparat militer di Puncak Jaya, para pelaku yang diadili di Peradilan Militer hanya divonis 5-7 bulan penjara.
Pelarangan penyiksaan sudah mendapatkan kedudukan hukum yang kuat sebagai non-derogable rights yaitu pasal 28(i) Amandemen Kedua UUD 1945; Pasal 4 jo. Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia,
Serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Hingga saat ini Indonesia belum mengatur soal penyiksaan termasuk definisi dalam hukum pidananya sesuai dengan Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
Imparsial memandang perlu agar Panglima TNI untuk berpikir jernih dan obyektif menyikapi laporan-laporan Komnas HAM atau lembaga pemantau HAM lainnya yang dibarengi dengan langkah-langkah korektif sebagai bagian pembangunan prajurit professional TNI.
Imparsial mendesak agar DPR dan pemerintah segera memprioritaskan pembahasan revisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. "Hal ini menjadi penting bukan hanya karena mandat dari UU TNI tetapi juga berfungsi untuk memutus rantai impunitas di dalam peradilan militer," tandasnya. (Karolus)
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Eksekutif Imparsial Indonesia, Poengky Indarti, dalam pressreleasenya yang diterima JUBI, di Jayapura, Jumat (7/1), sekaligus menjelaskan bahwa hasil pemantauan dan penyelidikan atas kekerasan yang dilakukan aparat TNI Batalyon 753/AVT di Puncak Jaya akhirnya selesai dilakukan oleh Komnas HAM, dimana dalam kesimpulannya Komnas menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM di Puncak Jaya.
"Dimana, Kasus-kasus itu meliputi pertama, peristiwa pembunuhan terhadap Pendeta Kinderman Gire; Kedua, peristiwa video tindak kekerasan dalam pelaksanaan operasi keamanan, serta ketiga, peristiwa video tindak kekerasan dalam proses interogasi," tulis Poengky dalam releasenya.
Imparsial menilai temuan Komnas HAM atas terjadinya kekerasan di Puncak Jaya merupakan sesuatu hal yang belum tuntas dan harus segera ditindaklanjuti. Di sini, Komnas HAM perlu secara lebih aktif dan lebih serius didalam menindaklanjuti rangkaian kasus kekerasan yang terjadi.
"Komnas HAM tidak boleh ragu-ragu apalagi permisif dalam melakukan proses pengungkapan kasus-kasus yang terjadi. Ketegasan Komnas HAM dalam menindaklanjuti hasil temuannya menjadi langkah penting pengungkapan kasus yang terjadi," pesannya.
Mneurutnya, terhadap kasus-kasus yang belum tuntas penyelesaiannya, sangat penting bagi Komnas HAM untuk bertindak pro-aktif dalam mengungkap terjadinya kekerasan dalam kasus-kasus tersebut dan menemukan para pelakunya. "Apalagi proses persidangan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota militer yang terjadi selama ini hanya mengadili tindakan insubordinasi dan indisipliner, dan tidak mengadili kejahatan penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI,"
Imparsial, yang juga sebuah LSM yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia ini, mendesak kepada Panglima TNI untuk tidak bersikap permisif apalagi melindungi para pelaku kekerasan yang melibatkan anggota militer.
"Kami mengecam sikap Panglima TNI yang menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM pada peristiwa kekerasan yang terjadi di Puncak Jaya, meski dikemudian hari Panglima mengakui telah terjadi Pelanggaran HAM di sana," tegasnya.
Dirinya meminta, pentingnya bagi Panglima TNI untuk memahami bahwa tidak ada alasan apapun yang dapat dibenarkan untuk melakukan tindakan pelanggaran HAM. "Panglima TNI seharusnya tidak menjadikan kompleksitas situasi dan kondisi yang terjadi di Puncak Jaya sebagai dalih pembenar untuk bersikap permisif terhadap anggotanya yang melakukan tindakan kekerasan di Papua," katanya.
Pihaknya mengecam sikap Panglima yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan militer lebih berat hukumannya daripada hukuman sipil. Meski tidak setara bila dibandingkan dengan pasal penganiayaan dalam KUHP, namun penting untuk dicermati bahwa hukuman bagi pelaku penganiayaan dalam KUHP adalah lima hingga tujuh tahun. Sedangkan dalam kasus kekerasan aparat militer di Puncak Jaya, para pelaku yang diadili di Peradilan Militer hanya divonis 5-7 bulan penjara.
Pelarangan penyiksaan sudah mendapatkan kedudukan hukum yang kuat sebagai non-derogable rights yaitu pasal 28(i) Amandemen Kedua UUD 1945; Pasal 4 jo. Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia,
Serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Hingga saat ini Indonesia belum mengatur soal penyiksaan termasuk definisi dalam hukum pidananya sesuai dengan Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
Imparsial memandang perlu agar Panglima TNI untuk berpikir jernih dan obyektif menyikapi laporan-laporan Komnas HAM atau lembaga pemantau HAM lainnya yang dibarengi dengan langkah-langkah korektif sebagai bagian pembangunan prajurit professional TNI.
Imparsial mendesak agar DPR dan pemerintah segera memprioritaskan pembahasan revisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. "Hal ini menjadi penting bukan hanya karena mandat dari UU TNI tetapi juga berfungsi untuk memutus rantai impunitas di dalam peradilan militer," tandasnya. (Karolus)
Komentar
Posting Komentar