Langsung ke konten utama

Kayu Kombou dan Ukiran Kulit Kayu asal Kampung Asei

JUBI – Bagi masyarakat Kampung Asei Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura keahlian mengukir di atas kulit kayu merupakan warisan budaya turun temurun. Jaman nenek moyang dulu ukiran di atas kulit kayu hanya untuk ondoafi (kepala suku di daerah Suku Sentani) saja.
“Namun sekarang ini ukiran di atas kulit kayu sudah banyak yang dikomersilkan bagi para pelancong atau pun peminat seni,”ujar Agus Ongge pengukir kulit kayu asal Kampung Asei di sela sela  Festival Danau Sentani belum lama ini.
Menurut Agus momen ini penting tetapi pihaknya sulit memenuhi permintaan dalam jumlah yang banyak karena terbatasa bahan baku kulit kombou.
Namun sekarang ini lanjut Ongge bahan baku (kulit kayu) sulit diperoleh di hutan alam di kawasan Kampung Asei.
“Dulu jaman orang-orang tua di Kampung Asei, ukiran yang dibuat dari kulit kayu Kambou gampang diperoleh sebab hanya diambil untuk kebutuhan local saja. Bahan ini juga digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan pakaian tradisional (rock dan cidako/celana untuk kaum pria) masyarakat setempat. Tetapi kini ukiran kulit kayu sudah bukan milik masyarakat Asei saja melainkan diminati oleh tourist manca negara dan Nusantara,”tutur Ongge.
Menurut Ongge kekurangan bahan baku kayu Kambou di Kampung Asei  kini semakin sulit didapat.
“Padahal permintaan konsumen akan barang yang satu ini terus meningkat.
Saya selalu membeli kulit kayu kombou di Distrik Nimboran Kabupaten Jayapura karena di Kampung Asei sendiri para pengukir sulit untuk mendapat kulit kayu. Memang ada pohon kambou tetapi diameter batangnya belum memenuhi syarat untuk dikuliti,”tegas Agus Ongge seniman asal Danau Sentani Kampung Asei Sentani Kabupaten Jayapura.`
Menurut Agus Ongge itu bukan berarti dia tidak mengetahui cara mengawetkan dan menguliti kulit kayu kombou. Kayu Kombou lanjut Agus Ongge terdiri dari beberapa jenis misalnya ai wello jenisnya warna putih seperti kertas. “Kombou velle kulitnya berwarna  kayu  biasa, pu kombou, kombi kleu dan terakhir nabou,”tegas Agus Ongge.
Sementara itu mantan aktivis dari Forest Watch Indonesia Regio Papua Ir Lindon Pangkali secara terpisah mengatakan bahwa kayu komboi termasuk dalam jenis atau keluarga Viscos SP atau kayu jenis beringin atau pohon sukun sehingga kulitnya sangat mudah dibentuk dan mempunyai serat yang sangat halus.
Menurut Agus Ongge bisa juga memakai kulit kayu pohon beringin dan sukun tetapi seratnya kurang baik serta kualitasnya tidak sama dengan kayu kombou. “Kalau mau menguliti kulit kayu kambou sebaiknya ukuran kayu berdiameter 17 cm. Kurang dari ukuran tersebut, kualitasnya kurang bagus dan berserat,” ujarAgus Ongge.
Untuk menguliti kulit kayu kombou menurut Agus Ongge mula-mula  memilih batang pohon kambou yang sudah cukup besar minimal berdiamater 17 cm dan dianggap siap untuk dikuliti. “Pohon berdiameter seperti itu biasanya langsung ditebang dan dikuliti,” “tutur Agus Ongge yang ditemani oleh lima orang anggota sanggarnya sambil menyelesaikan ukiran pesanan pelanggannya.
Tentang pengambilan kulit kayu Kambou ini, Agus menyarankan agar tidak menebang pohon yang dibutuhkan. Sebab yang diambil bukan kayunya melainkan kulitnya. Karenanya langsung saja ambil kulit kayu tersebut dan tidak perlu menebangnya sehingga merusak lingkungan.
“Setelah kami menguliti kulit kayu kombou tersebut harus dihaluskan agar lebih lunak dan halus. Setelah itu direnggangkan atau jemur agar tetap rapat dan awet,”tambah Agus Ongge.
Ditambahkan kalau sudah kering betul maka tindakan selanjutnya dipotong sesuai ukuran yang diinginkan paling besar ukuran dua meter kali dua meter dan ukuran biasa 10 sentimeter kali 10 sentimeter.
Lebih lanjut Ongge menjelaskan ada banyak ukuran yang dijual kepada para seniman ukiran di atas kulit kayu. “ Ukuran dua meter kali dua meter harganya mencapai Rp 50.000,- dan ukuran terkecil 10 meter x 10 meter Rp 10.000,- ,”tutur Ongge.
Menurut Ongge  kebutuhan saat ini semakin meningkat sehingga harus terus mencari bahan baku kulit kayu kambou. “Saya memang ada menanam satu pohon di pekarangan rumah tapi ini hanya koleksi saja dan memperkenalkan jenis kayu kambou,”tegas Ongge.
Upaya untuk budidaya memang sudah patut dilakukan bagi tanaman-tanaman bahan baku ukiran kayu kambou. Malah upaya seperti ini tidak hanya dilakukan oleh para pengukir tetapi juga didukung oleh pemerintah daerah masing-masing. Pasalnya kegiatan mengukir tidaknya meningkatkan income bagi para pengukir tetapi juga peningkatan pendapatan daerah. Selain itu kegiatan mengukir juga dapat menciptakan lapangan kerja bagi generasi muda. (Dominggus A. Mampioper)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Budaya Kita Orang Manggarai, Pelan-Pelan Memudar?

Orangtua kita zaman dulu sangat menghargai nilai-nilai budaya yang diwariskan para leluhur. Maksudnya, nilai-nilai budaya yang dicakupi budaya itu sendiri. Budaya dari berbagai dimensinya. Di sini kita menyoroti etika yang mana di dalamnya berbicara tentang nilai moral. Berbicara tentang etika mengarahkan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi kelaziman bagi orang Manggarai. Misalnya, etika ‘ reis ’ alias budaya menyapa orang. Etika memanggil ‘Ite’ untuk orang yang lebih dituakan/sebutan bagi orang ‘yang’terhormat. Menyebut ‘Kraeng’ n Dalu untuk profesi seseorang. Masih banyak nila-nilai etika yang lainnya. Kearifan tersebut tampaknya kian tersayat zaman. Entah kenapa? Orang bilang ‘mungkin karena perkembangan zaman sehingga nilai-nilai kultur itu semakin tenggelam! Mungkin ini benar juga, tapi di satu sisi tergantung dari kita sendiri bagaimana mempertahankan keasliannya. Resiko abad postmodernisme demikian. Dunia semakin maju menuju budaya modern, sehingga budaya as

Penyulam Benang Dari Timor Hingga Papua

Mama Ros sedang fokus memintal benang menjadi kain selendang bermotif Insana ketika masih di Papua Tangannya yang lincah dan gesit di atas alat pemintal klasik tradisional menunjukkan ciri khasnya sebagai penenun handal. Hari-harinya yang begitu padat dengan rutinitas tenun terkadang membuatnya lupa mengurus makan siang. Tanpa disadari pula matahari sudah tenggelam di balik dinding bumi bagian barat.  Itulah gambaran mama Rosina Eno, yang biasa dipanggil mama Ros. Hari-harinya terus berjibaku dengan aktivitas pintal-memintal dengan warna-warni benang hingga menghasilkan kain berbentuk selendang. Dengan gerakan dan kelincahan jemarinya di atas alat tenun dapat menghasilkan selembaran kain selendang dalam sehari. Tidak hanya itu, tapi didukung pula dengan ketekunan dan ketelitian tingkat tinggi membuat hasil lebih sempurna. "Kain Selendang bermotif Insana dari berbagai versi bisa dibuat, asalkan ada benang. Motif apa saja saya bisa buat, intinya ada benang untuk motif", paparny

Guru SMPN 23 Senopi Kompak Pakai Masker

Kegiatan Belajar dan Pembelajaran (KBM) di SMPN 23 Senopi kabupaten Tambrauw, Papua Barat tetap terlaksana sebagaimana biasanya. Tatap muka dengan siswa/i dilaksanakan secara full time setiap pekan.   Meskipun sekolah ini terletak di daerah tergolong zona hijau, namun para guru dan dan siswa/i tetap acuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah setempat.  Selama sepekan, kegiatan KBM dilaksanakan per kelas. Hal ini untuk mengantisipasi resiko penyebaran Covid-19 yang sudah mendunia. Mengingat letak sekolah ini persis tak jauh dari jalan umum trans Papua Barat, para guru terus mewanti-wanti siswanya untuk mengurangi sosialisasi diri dengan penduduk yang terus hilir mudik ke kota.  Akses ke kota Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat yang cukup lancar dengan menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam membuat warga masyarakat yang tinggal di sekitar lembaga pendidikan ini mudah terjangkau guna mengakses kebutuhan ekonomi. Di sela-sela kunjungan tim Dinas Pendidikan kabupaten Tamb