Seiring berjalannya pemekaran wilayah Provinsi Papua
menjadi sub-sub Pemerintahan, warga masyarakat Papua menyambut hangat kebijakan
Pemerintah itu. Lalu, kebijakan pemekaran wilayah pemerintahan disusul pemetaan
wilayah administratif untuk menentukan batas wilayah kekuasaan.
Sejauh ini, kebijakan
Pemerintah Pusat masih eksis untuk menetapkan orang asli Papua sebagai mandor
utama di tingkat elit birokrasi. Hal ini sebagai pengejawantahan otorisasi
kebijakan Pemerintah Pusat yang lama, Otonomi Khusus. Maka konsekuensi dari
kebijakan itu adalah pejabat yang bernotabene orang asli Papua menjadi lebih
hiruk-pikuk merebut kursi kepemimpinan. Dengan demikian, orang asli Papua diisolir
oleh suatu sistem kebijakan yang dikomandoi Pemerintah Pusat.
Di tengah arus
kesibukan bagi calon-calon pemimpin bernotabene orang asli Papua, mestinya menoleh
ke belakang merefleksi akan identitas orang Papua. Tentu identitas orang Papua dalam
hal ini terwujud dalam aspek-aspek kebudayaan. Sebab itu, siapa saja yang
menjadi pemimpin di suatu birokrasi atas nama orang asli Papua adalah
seharusnya mereka yang paham benar tentang aspek-aspek budaya Papua yang mewujud
dalam multikultur. Karena itu, internanalisasi budaya luar yang secara
pelan-pelan menggerogoti aspek budaya asli Papua tetap eksis di bawah naungan
otorisasi kepemimpinan orang asli Papua.
Saat ini Papua
Tengah bakal menjadi provinsi baru. Dari
satu sisi, pemekaran ini bertujuan untuk
terus memacu kemajuan di Papua. Tapi, di sisi lain menjadi tantangan dan
ancaman bagi identitas orang Papua. Pemekaran berarti memoles warna baru di
sebagian aspek budaya masyarakat yang selama ini masih berkesan orisinil. Bukan
tidak mungkin sebagian
aspek kebudayaan
akan luntur dan diganti budaya baru akibat kemenangan dari sebuah sistem
Pemerintahan. Misalnya, budaya dari aspek politik berpeluang adanya pergeseran
Pemerintahan adat menuju Pemerintahan modern. Pemerintahan modern yang dimaksud
adalah sub-sub Pemerintahan yang masih berlaku di Indonesia. Bila terjadinya
transisi politik, menciptakan keterasingan bagi masyarakat adat di Papua. Sebab
itu, kebijakan untuk membuka pemekaran-pemekaran baru di tingkat Pemerintahan
di Papua perlu sejalan dengan adanya keterbukaan dialog dengan Pemerintahan adat.
Pemertahanan Identitas Orang Papua
Seiring dengan
program pemekaran wilayah di Papua, dikotak-kotakan menjadi sub wilayah
Pemerintahan kiranya dapat menjadi bahan pemikiran dan kajian dari Pemerintahan
Adat. Selain itu, pemerintahan adat menganalisa prospek dan dampak dari
pemekaran wilayah, di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Pemerintahan adat
melakukan hal itu, berarti sebagai suatu wujud kepedulian bagi pemertahanan
identitas orang asli Papua. Sebab identitas orang asli Papua diejawantahkan
dalam budayanya. Karena itu, apa saja yang masuk dalam lingkaran adat
dipertahankan sebagaimana membangun kecintaan akan eksistensinya sendiri.
Pernyataan
eksistensi orang Papua dinyatakan dalam segi-segi budaya tetap dilestarikan
sepanjang zaman. Pelestarian aspek budaya tersebut tidak hanya berada di pundak
kepemimpinan adat. Tapi, lebih dari itu adanya keterlibatan semua pihak dan
elemen tertentu yang mengklaim dirinya sebagai jati diri orang Papua.
Filsuf manusia,
Martin Heidgger menyebut eksistensi manusia mencakupi ragam aspek yang berdampingan
dengan kemerosotan. Dalam hal ini, kemerosotan terjadi apabila manusia tunduk
terhadap pengaruh dunia luar sehingga mengabaikan eksistensinya. Kemerosotan berarti
keterasingan, dimana orang Papua bukan lagi menjadi tuan di atas negerinya
sendiri.
Pengaruh dunia
luar menurut Heidgger bisa disimplifikasi pada suatu sistem yang mengikat. Sehingga
dalam ikatan sistem, inisiatif untuk menciptakan hal-hal yang baru dipasung. Sistem
memberi warna baru terhadap identitas sehingga warna aslinya memudar dan pada
akhirnya kehilangan identitas.
raian pendapat
Heidegger tentang manusia dapat menjadi pijakan pemikiran tentang pemekaran di
Papua. Akibat dari pemekaran-pemekaran wilayah di Papua, orang Papua yang
bernaung di bawah otorisasi adat menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Pertama, identitas
orang asli Papua dalam segala aspeknya mengalami kehilangan total bila
otorisasi adat mengabaikan sepenuhnya bagian dari identitas dan haknya. Kedua,
masyarakat semakin sejahtera karena adanya kemajuan.
Kemungkinan pertama bisa saja dipertegas oleh sistem dari
luar yang mana tidak menghargai nilai-nilai masyarakat adat. Sistem dari luar
dalam hal ini adalah birokrasi ala Pemerintahan Indonesia.
Sementara
kemungkinan yang kedua menjadi bahan pertanyaan karena belum tentu
kesejahteraan itu akan dinikmati oleh warga orang Papua secara keseluruhan.
Sementara tanah adat yang dimanfaatkan untuk menyokong kebutuhan mereka dialihfungsikan
menjadi area pembangunan Pemerintahan. Karena itu, kemungkinan kedua ini
pemekaran wilayah menjadi ancaman bagi orang asli Papua dan masyarakat adat.
Solusi yang
menjadi jalan tengah adalah Kebijakan
Pemekaran wilayah dari Pemerintah berbarengan dengan penghargaan terhadap
nilai-nilai masyarakat adat. Pemekaran ini pun mestinya menjawab kebutuhan yang
dialami masyarakat kecil. Dan supaya otoriasi adat tidak terlena dengan kebijakan
pemerintah ini, maka perlu berhati-hati menjaga kestabilan nilai-nilai
susbtansial dalam masyarakat adat.
Komentar
Posting Komentar