Langsung ke konten utama

Ketika Sang Khalik Memanggil Pulang

 Mendung hitam di langit akhir September  2014 seakan memberi isyarat pada penghuni jagat bahwa ada unsur kehidupan semesta yang pamit pulang ke keabadian. Berpisah kepada kehidupan untuk kembali lagi ke tanah. Penghujung September kelabu, tak ada  riang menghiasi wajah-wajah anak jagat. Malaikat maut merampas kebahagiaan, menghalau kegembiraan. Menyoraki tangisan dan nestapa. Lonceng kematian terus berdentang kuat, mendendangkan kidung-kidung nestapa.

Mendiang bapak Hermanus Huru pamit pulang ke rahim Ilahi. Pamit tanpa basa-basi, namun meninggalkan wasiat-wasiat tersirat menjadi catatan-catatan dan kenangan-kenangan yang terbungkus rapi dalam balutan kalbu. 

"Sebelum saya dipanggil pulang, Tuhan perkenankan saya melihat anak-anakku bahagia". Sepenggal doa dirapalkannya ke langit yang rupanya disambut baik sang Khalik. 

Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya saat perjalanan pulang dari RSUD Ben Mboy Ruteng, beliau dibuntuti sejumlah penyakit mulai dari khatarak, kelumpuhan hingga penyakit lain yang tidak bisa dideteksi pancaindera. Namun rupanya mendiang merasa puas setelah petualangannya selesai dan menyambut tempat keabadian. Hal itu tersirat dari kata-katanya berupa untaian do,a sebelum menghembuskan nafas terakhir saat dalam perjalanan pulang dari RSUD Ben Mboy Ruteng ke kampung Sukakiong, Manggarai Barat Flores.

Almarhum adalah buah dari alm. Bpk Hendrikus Hupang dan almarhumah Magdalena Hawu. Lahir tahun 1940-an persis ketika hangatnya perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.  Saudaranya  yang tertua alm. Willem Waru dan yang lebih muda di bawahnya bpk. Aleks Gua masih sekandung, cuma dilahirkan dari beda rahim. 

Lekas setelah kepergian mendiang Almarhum, setahun kemudian Almarhumah Monika Banur mengikuti jejaknya. Keduanya meninggalkan belasan anak dan cucu. 

Sebagaimana istilah mengatakan "pahlawan tanpa tanda jasa",. Setidaknya layak disematkan pada beliau mengingat spirit usaha dan jiwa juangnya dalam mencukupi kebutuhan keluarga besar. Itulah mengapa ia disebut pahlawan karena tidak menuntut balasan apapun dari anak-anaknya, serentak mengajarkan tentang  contoh sikap hidup. 

Tentang cinta dan pengampunan, cinta dan perdamaian adalah bagian sikap hidup yang dicontohkannya. "Baik-baik dengan orang lain (de di,a agu ghae ata)", wejangannya untuk membangun hidup suasana perdamaian dengan orang lain. Sekaligus itulah dasar untuk membangun kehidupan yang lebih harmoni dengan sesama. Bahkan hubungan dengan alampun kerap ia contohkan. Pernah suatu saat ketika saya masih usia-usia Sekolah Dasar diajaknya ke hutan yang bernama 'Lembah Golo Lasi'. Disana beliau mengajarkan kepada saya hubungan dengan alam, dengan pesan "tidak boleh menebang pohon hidup apapun, kecuali untuk kebutuhan semisal pembangunan rumah",. Konsep dan pemahamannya tentang keseimbangan alam sungguh luar biasa. Konsep seperti inilah yang juga menjadi bagian dari doktrin dan sesi terakhir sebagai berkat penutup "Laudato Si (untuk dunia dan ciptaan) dari Sri Paus ketika merayakan seremonial besar.

Dalam hidup bertani, mendiang Bpk. Herman tidak hanya mengelola sawah, tapi juga kelola kebun kopi, lahan kering untuk ditanami jagung, singkong dan ubi jalar. Bahkan ketika meronda jaga tanaman di perkebunan yang jauh dari kampung Suka, beliau cuma sesekali saja pulang ke kampung. Karena kalau tidak, binatang-binatang hutan dan binatang malam menghancurkan tanaman. Untuk mengusir binatang malam biasanya membuat calung dari bambu, lalu memasukkan calung ke tiang-tiang  kayu yang ditancapkan di tengah-tengah tanaman kemudian ditarik dengan tali. Nantinya mengeluarkan bunyi sehingga binatang-binantang malam lari tunggang-langgang, jadinya tanamanpun aman. 

Almarhum bpk. Herman Huru dengan pasangan almarhumah mama Monika Banur memiliki sebelas anak; Theodorus Elmase, Felisianus Modern, Emerensiana Hail, Yasinta Edit, Yakobus Hilihamin, Kornelia Sanur, Veronika Juita Haim, Evalius Arman, Karolus Kundal, Theresia Via, Fransiskus Mela. 

Berbahagialah di Firdaus abadi pahlawan sejati, tak ada pena dan tinta yang cukup untuk menggoreskan kebaikanmu. Bahkan kata-katapun tak sanggup melukiskanmu. Bisa-bisanya membisu. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Budaya Kita Orang Manggarai, Pelan-Pelan Memudar?

Orangtua kita zaman dulu sangat menghargai nilai-nilai budaya yang diwariskan para leluhur. Maksudnya, nilai-nilai budaya yang dicakupi budaya itu sendiri. Budaya dari berbagai dimensinya. Di sini kita menyoroti etika yang mana di dalamnya berbicara tentang nilai moral. Berbicara tentang etika mengarahkan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi kelaziman bagi orang Manggarai. Misalnya, etika ‘ reis ’ alias budaya menyapa orang. Etika memanggil ‘Ite’ untuk orang yang lebih dituakan/sebutan bagi orang ‘yang’terhormat. Menyebut ‘Kraeng’ n Dalu untuk profesi seseorang. Masih banyak nila-nilai etika yang lainnya. Kearifan tersebut tampaknya kian tersayat zaman. Entah kenapa? Orang bilang ‘mungkin karena perkembangan zaman sehingga nilai-nilai kultur itu semakin tenggelam! Mungkin ini benar juga, tapi di satu sisi tergantung dari kita sendiri bagaimana mempertahankan keasliannya. Resiko abad postmodernisme demikian. Dunia semakin maju menuju budaya modern, sehingga budaya as

Penyulam Benang Dari Timor Hingga Papua

Mama Ros sedang fokus memintal benang menjadi kain selendang bermotif Insana ketika masih di Papua Tangannya yang lincah dan gesit di atas alat pemintal klasik tradisional menunjukkan ciri khasnya sebagai penenun handal. Hari-harinya yang begitu padat dengan rutinitas tenun terkadang membuatnya lupa mengurus makan siang. Tanpa disadari pula matahari sudah tenggelam di balik dinding bumi bagian barat.  Itulah gambaran mama Rosina Eno, yang biasa dipanggil mama Ros. Hari-harinya terus berjibaku dengan aktivitas pintal-memintal dengan warna-warni benang hingga menghasilkan kain berbentuk selendang. Dengan gerakan dan kelincahan jemarinya di atas alat tenun dapat menghasilkan selembaran kain selendang dalam sehari. Tidak hanya itu, tapi didukung pula dengan ketekunan dan ketelitian tingkat tinggi membuat hasil lebih sempurna. "Kain Selendang bermotif Insana dari berbagai versi bisa dibuat, asalkan ada benang. Motif apa saja saya bisa buat, intinya ada benang untuk motif", paparny

Guru SMPN 23 Senopi Kompak Pakai Masker

Kegiatan Belajar dan Pembelajaran (KBM) di SMPN 23 Senopi kabupaten Tambrauw, Papua Barat tetap terlaksana sebagaimana biasanya. Tatap muka dengan siswa/i dilaksanakan secara full time setiap pekan.   Meskipun sekolah ini terletak di daerah tergolong zona hijau, namun para guru dan dan siswa/i tetap acuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah setempat.  Selama sepekan, kegiatan KBM dilaksanakan per kelas. Hal ini untuk mengantisipasi resiko penyebaran Covid-19 yang sudah mendunia. Mengingat letak sekolah ini persis tak jauh dari jalan umum trans Papua Barat, para guru terus mewanti-wanti siswanya untuk mengurangi sosialisasi diri dengan penduduk yang terus hilir mudik ke kota.  Akses ke kota Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat yang cukup lancar dengan menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam membuat warga masyarakat yang tinggal di sekitar lembaga pendidikan ini mudah terjangkau guna mengakses kebutuhan ekonomi. Di sela-sela kunjungan tim Dinas Pendidikan kabupaten Tamb