Langsung ke konten utama

Neraka dan Penjara

 Istilah 'neraka' disebut untuk mahluk bertuhan. Bila dipletisir istilahnya ke segi keduniawian, paling tidak disebut sebagai 'penjara,. Neraka diasosiasikan dengan suasana mengerikan. Tidak adanya kebahagiaan.

 Kamus Besar Bahasa Indonesia membatasi definisi neraka sebagai alam akhirat tempat orang kafir dan durhaka mengalami siksaan dan kesengsaraan. Pihak-pihak yang melakukan penyiksaan di neraka adalah pihak-pihak yang diimani menurut keyakinan atau agama tertentu. Disebut sebagai Tuhanlah berdaulat penuh atas neraka. Cara pandang terhadap adikodrati  mempengaruhi perilaku subyek selama pengembaraan di dunia.

Sementara penjara bertalian dengan istilah keduniawian. Penjara identik dengan orang hukuman karena melanggar norma yang menjadi kesepakatan bersama. Melanggar berarti pihak yang membuat kesalahan tertentu dan secara otomat menerima konsekuensi hukuman. 

Menurut KBBI, penjara merupakan bangunan tempat mengurung hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan. Secara kasat mata, siapapun bisa mengamati penjara dan mengalami suasananya. Istilah 'penjara' terkesan rada-rada kasar dan sudah diperhalus ke istilah "Lapas (Lembaga Pemasyarakatan). 

Garis diferensiasi neraka dan penjara adalah penilaian moral. Neraka identik dengan moral agama. Sedangkan 'penjara' identik dengan moral negara, moral masyarakat yang lebih kompleks. Moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya (KBBI). Apa yang menjadi perbedaan  barometer  moral agama dan moral negara adalah doktrin (ajaran). 

Menyimplifikasi pemahaman kita terhadap neraka dan penjara, tolok ukurnya ditekankan kepada perbedaan ajaran moral.

Dalam prakteknya, penilaian moral yang berurusan dengan penjara akan habis di suatu masa tertentu. Sedangkan penilaian moral yang bersinggungan dengan 'neraka'  menyangkut kodrat dan adikodrati.

Contoh kasus

Si A melakukan pembunuhan terhadap si B. Si A diadili dan divonis dengan penjara 10 tahun sesuai dengan ketetapan pasal tertentu. Kasus tersebut akan habis pada momen tertentu. 

Bandingkan dengan kasus di bawah ini

Si A tidak melaksanakan sholat 5 waktu. Si A disebut melanggar perintah Allah. Selanjutnya A divonis verbal 'bersalah dan berdosa'. 

Komparasi kasus 1 dan 2 jelas sangat berbeda substansinya. Kasus pertama lebih mendeterminasi dan bercorak keduniawian sehingga dipastikan habis di suatu periode.

Sementara kasus 2 menggarisbawahi aspek lahiriah dan adikodrati.  Kata 'bersalah' lebih menekankan dari sisi manusiawi. Sedangkan kata 'berdosa' menekankan relevansi dengan dunia lain yang disebut sebagai 'adikodrati'. 

Meskipun pembahasan ini bersifat relatif, namun memiliki kesamaan latar pembahasan, yaitu dunia sebagai tempat menghuninya mahluk manusia. Dua fenomen yang berbeda, tapi diamati dari latar yang sama. 

Mengawinkan dua isu "neraka dan penjara" dapat dipertemukan dalam satu pintu yang bernama 'moralitas'. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Budaya Kita Orang Manggarai, Pelan-Pelan Memudar?

Orangtua kita zaman dulu sangat menghargai nilai-nilai budaya yang diwariskan para leluhur. Maksudnya, nilai-nilai budaya yang dicakupi budaya itu sendiri. Budaya dari berbagai dimensinya. Di sini kita menyoroti etika yang mana di dalamnya berbicara tentang nilai moral. Berbicara tentang etika mengarahkan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi kelaziman bagi orang Manggarai. Misalnya, etika ‘ reis ’ alias budaya menyapa orang. Etika memanggil ‘Ite’ untuk orang yang lebih dituakan/sebutan bagi orang ‘yang’terhormat. Menyebut ‘Kraeng’ n Dalu untuk profesi seseorang. Masih banyak nila-nilai etika yang lainnya. Kearifan tersebut tampaknya kian tersayat zaman. Entah kenapa? Orang bilang ‘mungkin karena perkembangan zaman sehingga nilai-nilai kultur itu semakin tenggelam! Mungkin ini benar juga, tapi di satu sisi tergantung dari kita sendiri bagaimana mempertahankan keasliannya. Resiko abad postmodernisme demikian. Dunia semakin maju menuju budaya modern, sehingga budaya as

Penyulam Benang Dari Timor Hingga Papua

Mama Ros sedang fokus memintal benang menjadi kain selendang bermotif Insana ketika masih di Papua Tangannya yang lincah dan gesit di atas alat pemintal klasik tradisional menunjukkan ciri khasnya sebagai penenun handal. Hari-harinya yang begitu padat dengan rutinitas tenun terkadang membuatnya lupa mengurus makan siang. Tanpa disadari pula matahari sudah tenggelam di balik dinding bumi bagian barat.  Itulah gambaran mama Rosina Eno, yang biasa dipanggil mama Ros. Hari-harinya terus berjibaku dengan aktivitas pintal-memintal dengan warna-warni benang hingga menghasilkan kain berbentuk selendang. Dengan gerakan dan kelincahan jemarinya di atas alat tenun dapat menghasilkan selembaran kain selendang dalam sehari. Tidak hanya itu, tapi didukung pula dengan ketekunan dan ketelitian tingkat tinggi membuat hasil lebih sempurna. "Kain Selendang bermotif Insana dari berbagai versi bisa dibuat, asalkan ada benang. Motif apa saja saya bisa buat, intinya ada benang untuk motif", paparny

Guru SMPN 23 Senopi Kompak Pakai Masker

Kegiatan Belajar dan Pembelajaran (KBM) di SMPN 23 Senopi kabupaten Tambrauw, Papua Barat tetap terlaksana sebagaimana biasanya. Tatap muka dengan siswa/i dilaksanakan secara full time setiap pekan.   Meskipun sekolah ini terletak di daerah tergolong zona hijau, namun para guru dan dan siswa/i tetap acuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah setempat.  Selama sepekan, kegiatan KBM dilaksanakan per kelas. Hal ini untuk mengantisipasi resiko penyebaran Covid-19 yang sudah mendunia. Mengingat letak sekolah ini persis tak jauh dari jalan umum trans Papua Barat, para guru terus mewanti-wanti siswanya untuk mengurangi sosialisasi diri dengan penduduk yang terus hilir mudik ke kota.  Akses ke kota Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat yang cukup lancar dengan menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam membuat warga masyarakat yang tinggal di sekitar lembaga pendidikan ini mudah terjangkau guna mengakses kebutuhan ekonomi. Di sela-sela kunjungan tim Dinas Pendidikan kabupaten Tamb