Setelah meninggalkan hingar-bingar kota, Lalong bersama kawan-kawanya menerobos rimba raya, menukik jalan penuh terjal hingga terdampar di dataran lembah penuh subur. Menghadapi suasana penuh keheningan, desahan dedaunan diterpa angin malam, variasi musik alam dari belantara hijau di perkampungan daratan lembah subur bukan hal yang langka bagi Lalong dan kawan-kawannya.
Sebagai guru muda di daerah terpencil, Lalong bergaul dengan masyarakat setempat tanpa sekat. Selain berinteraksi dengan murid-muridnya, kerap kali menyisipkan waktu luangnya berputar-putar di rimba. Tujuannya tidak sekedar menghirup udara murni dari hutan hijau berperawan. Tapi terdorong oleh hobinya menjerat babi hutan, berburu binatang hutan, termasuk menembak burung.
Guru yang bertugas di daerah pedalaman Papua semisal pedalaman kabupaten Memberamo rata-rata memiliki kecakapan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam, tak terkecuali interaksi sosial.
Sebagai guru muda bertugas di pedalaman kabupaten Memberamo, Lalong dengan teman-temannya menyesuikan diri dengan kebiasaan hidup masyarakat setempat. Hal yang menarik misalnya kebiasaan dalam hal kuliner, warga masyarakat pedalaman Memberamo terbiasa memasak makanan dengan buah merah. Umbia-umbian, ubi jalar, dan lain-lain dimasak dengan buah merah. Makanan yang dipadu dengan buah merah tersebut tidak dicampur dengan perasa seperti garam, ajinomoto, masako atapun sejenis bumbu-bumbuan yang lain.
Hal yang tidak kalah menarik bagi lalong adalah cerita tentang suanggi dari masyarakat setempat. Suanggi diidentikkan dengan citra negatif. Membuat orang sakit, penderitaan fisik dan jiwa bahkan meninggal dunia diyakini sebagai akibat pekerjaan suanggi. Suanggi diyakini 'ada' tapi tidak bisa dideskripsikan secara fisik, menurut pengakuan warga setempat.
Komentar
Posting Komentar