Langsung ke konten utama

Suanggi Tanpa Jejak

Setelah meninggalkan hingar-bingar kota, Lalong bersama kawan-kawanya menerobos rimba raya, menukik jalan penuh terjal hingga terdampar di dataran lembah penuh subur. Menghadapi suasana penuh keheningan, desahan dedaunan diterpa angin malam, variasi musik alam dari belantara hijau di perkampungan daratan lembah subur bukan hal yang langka bagi Lalong dan kawan-kawannya.

Sebagai guru muda di daerah terpencil, Lalong bergaul dengan masyarakat setempat tanpa sekat. Selain berinteraksi dengan murid-muridnya, kerap kali menyisipkan waktu luangnya berputar-putar di rimba. Tujuannya tidak sekedar menghirup udara murni dari hutan hijau berperawan. Tapi terdorong oleh hobinya menjerat babi hutan, berburu binatang hutan, termasuk menembak burung. 

Guru yang bertugas di daerah pedalaman Papua semisal pedalaman kabupaten Memberamo rata-rata memiliki kecakapan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam, tak terkecuali interaksi sosial. 

Sebagai guru muda bertugas di pedalaman kabupaten Memberamo, Lalong dengan teman-temannya menyesuikan diri dengan kebiasaan hidup masyarakat setempat. Hal yang menarik misalnya kebiasaan dalam hal kuliner, warga masyarakat pedalaman Memberamo terbiasa memasak makanan dengan buah merah.  Umbia-umbian, ubi jalar, dan lain-lain dimasak dengan buah merah. Makanan yang dipadu dengan buah merah tersebut tidak dicampur dengan perasa seperti  garam, ajinomoto, masako atapun sejenis bumbu-bumbuan yang lain. 

Hal yang tidak kalah menarik bagi lalong adalah cerita tentang suanggi dari masyarakat setempat. Suanggi diidentikkan dengan citra negatif. Membuat orang sakit, penderitaan fisik dan jiwa bahkan meninggal dunia diyakini sebagai akibat pekerjaan suanggi. Suanggi diyakini 'ada' tapi tidak bisa dideskripsikan secara fisik, menurut pengakuan warga setempat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Budaya Kita Orang Manggarai, Pelan-Pelan Memudar?

Orangtua kita zaman dulu sangat menghargai nilai-nilai budaya yang diwariskan para leluhur. Maksudnya, nilai-nilai budaya yang dicakupi budaya itu sendiri. Budaya dari berbagai dimensinya. Di sini kita menyoroti etika yang mana di dalamnya berbicara tentang nilai moral. Berbicara tentang etika mengarahkan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi kelaziman bagi orang Manggarai. Misalnya, etika ‘ reis ’ alias budaya menyapa orang. Etika memanggil ‘Ite’ untuk orang yang lebih dituakan/sebutan bagi orang ‘yang’terhormat. Menyebut ‘Kraeng’ n Dalu untuk profesi seseorang. Masih banyak nila-nilai etika yang lainnya. Kearifan tersebut tampaknya kian tersayat zaman. Entah kenapa? Orang bilang ‘mungkin karena perkembangan zaman sehingga nilai-nilai kultur itu semakin tenggelam! Mungkin ini benar juga, tapi di satu sisi tergantung dari kita sendiri bagaimana mempertahankan keasliannya. Resiko abad postmodernisme demikian. Dunia semakin maju menuju budaya modern, sehingga budaya as

Penyulam Benang Dari Timor Hingga Papua

Mama Ros sedang fokus memintal benang menjadi kain selendang bermotif Insana ketika masih di Papua Tangannya yang lincah dan gesit di atas alat pemintal klasik tradisional menunjukkan ciri khasnya sebagai penenun handal. Hari-harinya yang begitu padat dengan rutinitas tenun terkadang membuatnya lupa mengurus makan siang. Tanpa disadari pula matahari sudah tenggelam di balik dinding bumi bagian barat.  Itulah gambaran mama Rosina Eno, yang biasa dipanggil mama Ros. Hari-harinya terus berjibaku dengan aktivitas pintal-memintal dengan warna-warni benang hingga menghasilkan kain berbentuk selendang. Dengan gerakan dan kelincahan jemarinya di atas alat tenun dapat menghasilkan selembaran kain selendang dalam sehari. Tidak hanya itu, tapi didukung pula dengan ketekunan dan ketelitian tingkat tinggi membuat hasil lebih sempurna. "Kain Selendang bermotif Insana dari berbagai versi bisa dibuat, asalkan ada benang. Motif apa saja saya bisa buat, intinya ada benang untuk motif", paparny

Guru SMPN 23 Senopi Kompak Pakai Masker

Kegiatan Belajar dan Pembelajaran (KBM) di SMPN 23 Senopi kabupaten Tambrauw, Papua Barat tetap terlaksana sebagaimana biasanya. Tatap muka dengan siswa/i dilaksanakan secara full time setiap pekan.   Meskipun sekolah ini terletak di daerah tergolong zona hijau, namun para guru dan dan siswa/i tetap acuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah setempat.  Selama sepekan, kegiatan KBM dilaksanakan per kelas. Hal ini untuk mengantisipasi resiko penyebaran Covid-19 yang sudah mendunia. Mengingat letak sekolah ini persis tak jauh dari jalan umum trans Papua Barat, para guru terus mewanti-wanti siswanya untuk mengurangi sosialisasi diri dengan penduduk yang terus hilir mudik ke kota.  Akses ke kota Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat yang cukup lancar dengan menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam membuat warga masyarakat yang tinggal di sekitar lembaga pendidikan ini mudah terjangkau guna mengakses kebutuhan ekonomi. Di sela-sela kunjungan tim Dinas Pendidikan kabupaten Tamb