Langsung ke konten utama

Penyulam Benang Dari Timor Hingga Papua

Mama Ros sedang fokus memintal benang menjadi kain selendang bermotif Insana ketika masih di Papua


Tangannya yang lincah dan gesit di atas alat pemintal klasik tradisional menunjukkan ciri khasnya sebagai penenun handal. Hari-harinya yang begitu padat dengan rutinitas tenun terkadang membuatnya lupa mengurus makan siang. Tanpa disadari pula matahari sudah tenggelam di balik dinding bumi bagian barat. 

Itulah gambaran mama Rosina Eno, yang biasa dipanggil mama Ros. Hari-harinya terus berjibaku dengan aktivitas pintal-memintal dengan warna-warni benang hingga menghasilkan kain berbentuk selendang. Dengan gerakan dan kelincahan jemarinya di atas alat tenun dapat menghasilkan selembaran kain selendang dalam sehari. Tidak hanya itu, tapi didukung pula dengan ketekunan dan ketelitian tingkat tinggi membuat hasil lebih sempurna. "Kain Selendang bermotif Insana dari berbagai versi bisa dibuat, asalkan ada benang. Motif apa saja saya bisa buat, intinya ada benang untuk motif", paparnya.

Adapun proses menyulam sebelum menjadi kain selendang, yaitu; pertama teknik penggulungan benang. Menurutnya, penggulungan benang dilakukan untuk memudahkan penguraian saat mulai pemintalan. Dengan cara ini, lanjutnya, si pemintal tidak kewalahan menyusun motif. Teknik selanjutnya, yaitu pelingkaran helaian benang ke roda gulung benang yang terbuat dari bambu ukuran sedang. Ketika dua langkah ini selesai, proses pemintalan benang berjalan mulus dengan berpatokan pada motif yang sudah ditentukan sebelumnnya. 

Selama menenun kain selendang berbagai corak motif Insana, diakui mama Ros, kebanyakan dipasok dari luar Papua karena stok benang untuk motif di Papua khususnya Manokwari sangat terbatas. Biasanya, kalau stok benang sudah habis pesan lansung di Makassar. Kalau tidak dikirim lansung dari Atambua, NTT. 

Siapa saja yang masih awam dengan dunia tenun-menenun, pasti merasa jenuh. Bagaimana tidak, aktivitas melulu satu arah tidak kombinasi pekerjaan lain sebagai selingan nyaris rasa bosan pasti ada. Namun berbeda dengan Mama Ros yang sudah menjadi pekerjaannya sedari usia-usia remaja. "Saya sudah bisa tenun sejak usia remaja. Waktu saya latihan tenun, nenek Luti pukul saya di tangan kalau salah-salah kasi masuk benang. Karena kalau satu helai benang saja salah dari awal, maka tenun tidak bakal jadi", kenang mama Ros sembari menyinggung masa kecilnya di Haen'feka kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT.

Sebagai selingan sekaligus mengusir rasa kantuk, lagu-lagu pop daerah NTT, semisal tebe, portu timor leste, musik ja,i kerap diputarnya sebagai hiburan kala tidak ada teman bicara saat menenun. Bahkan tidak sekedar hiburan, tapi lebih untuk merasakan tanah perantauan seperti di kampung sendiri. 

"Saya tidak mungkin ke Papua sini kalau anak saya tidak ke sini. Daripada saya duduk kosong, lebih baik tenun", tuturnya.

Sebelum meninggal kampumg halamannya Opo, kecamatan Biboki Selatan, kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) NTT, berencana untuk mengikuti seremonial pernikahan anak perempuannya yang tertua di Papua, namun rencanannya yang tertunda sukses dikemudian hari. 

Persis tanggal 25 November 2019 meninggalkan kampung Opo menuju bumi Papua. Menempuh perjalanan laut menghabiskan waktu satu minggu dari pelabuhan laut Tenau Kupang menuju Manokwari Papua Barat bukan perkara mudah. Tiba di Manokwari tanggal 3 Desember 2019. 

"Waktu naik kapal berdesak-desakkan. Tapi bersyukurlah saya bisa berjumpa dengan anakku di perantauan", kenang mama Ros seraya terbersit aura wajahnya sumringah.

Mama Ros memilin benang untuk membentuk motif (ketika di kampung Senopi, Tambrauw Papua Barat)








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika Budaya Kita Orang Manggarai, Pelan-Pelan Memudar?

Orangtua kita zaman dulu sangat menghargai nilai-nilai budaya yang diwariskan para leluhur. Maksudnya, nilai-nilai budaya yang dicakupi budaya itu sendiri. Budaya dari berbagai dimensinya. Di sini kita menyoroti etika yang mana di dalamnya berbicara tentang nilai moral. Berbicara tentang etika mengarahkan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi kelaziman bagi orang Manggarai. Misalnya, etika ‘ reis ’ alias budaya menyapa orang. Etika memanggil ‘Ite’ untuk orang yang lebih dituakan/sebutan bagi orang ‘yang’terhormat. Menyebut ‘Kraeng’ n Dalu untuk profesi seseorang. Masih banyak nila-nilai etika yang lainnya. Kearifan tersebut tampaknya kian tersayat zaman. Entah kenapa? Orang bilang ‘mungkin karena perkembangan zaman sehingga nilai-nilai kultur itu semakin tenggelam! Mungkin ini benar juga, tapi di satu sisi tergantung dari kita sendiri bagaimana mempertahankan keasliannya. Resiko abad postmodernisme demikian. Dunia semakin maju menuju budaya modern, sehingga budaya as

Guru SMPN 23 Senopi Kompak Pakai Masker

Kegiatan Belajar dan Pembelajaran (KBM) di SMPN 23 Senopi kabupaten Tambrauw, Papua Barat tetap terlaksana sebagaimana biasanya. Tatap muka dengan siswa/i dilaksanakan secara full time setiap pekan.   Meskipun sekolah ini terletak di daerah tergolong zona hijau, namun para guru dan dan siswa/i tetap acuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah setempat.  Selama sepekan, kegiatan KBM dilaksanakan per kelas. Hal ini untuk mengantisipasi resiko penyebaran Covid-19 yang sudah mendunia. Mengingat letak sekolah ini persis tak jauh dari jalan umum trans Papua Barat, para guru terus mewanti-wanti siswanya untuk mengurangi sosialisasi diri dengan penduduk yang terus hilir mudik ke kota.  Akses ke kota Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat yang cukup lancar dengan menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam membuat warga masyarakat yang tinggal di sekitar lembaga pendidikan ini mudah terjangkau guna mengakses kebutuhan ekonomi. Di sela-sela kunjungan tim Dinas Pendidikan kabupaten Tamb