Langsung ke konten utama

Postingan

Ketika Sang Khalik Memanggil Pulang

 Mendung hitam di langit akhir September  2014 seakan memberi isyarat pada penghuni jagat bahwa ada unsur kehidupan semesta yang pamit pulang ke keabadian. Berpisah kepada kehidupan untuk kembali lagi ke tanah. Penghujung September kelabu, tak ada  riang menghiasi wajah-wajah anak jagat. Malaikat maut merampas kebahagiaan, menghalau kegembiraan. Menyoraki tangisan dan nestapa. Lonceng kematian terus berdentang kuat, mendendangkan kidung-kidung nestapa. Mendiang bapak Hermanus Huru pamit pulang ke rahim Ilahi. Pamit tanpa basa-basi, namun meninggalkan wasiat-wasiat tersirat menjadi catatan-catatan dan kenangan-kenangan yang terbungkus rapi dalam balutan kalbu.  "Sebelum saya dipanggil pulang, Tuhan perkenankan saya melihat anak-anakku bahagia". Sepenggal doa dirapalkannya ke langit yang rupanya disambut baik sang Khalik.  Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya saat perjalanan pulang dari RSUD Ben Mboy Ruteng, beliau dibuntuti sejumlah penyakit mulai dari khatarak, kelumpuhan

Pernah Ngamen Hingga Jadi Bos di Jakarta

Siapapun tidak bisa menebak perjalanan hidup ke depan seperti apa dan bagaimana. Nasib untung dan malang menjadi misteri yang tidak bisa disingkap pengetahuan apapun. Yang kita ketahui sebatas masa lalu, hari kemarin, dan sesuatu yang sudah lewat di hari ini. Itulah yang disebut pengalaman hidup.  Pengalaman hidup yang tidak meyenangkan usia-usia remaja membuatnya bangkit dan gairah menapaki perjalanan hidup selanjutnya. Itulah gambaran hidup bos pengusaha lebur besi, Rafael Jatong, yang sementara ini berdomisili di ibukota negara, Jakarta.  Dirinya mengisahkan lika-liku hidup yang membuatnya bangkit dari keterpurukan secara ekonomi. Apalagi tinggal di kota besar semisal Jakarta butuh keterampilan dan hidup penuh persaingan di semua lini kehidupan. "Secara akademik, saya tidak sampai sekolah tingkat menengah. Bahkan  pernah putus sekolah karena kendala biaya. Tapi saya terus berusaha dengan berbagai cara untuk tetap hidup tinggal di kota besar", ujar laki-laki yang beristri M

Tangisan Sesenggukan Ibu Setelah Enu Wuat Wa,i

 Lekas setelah keluarga Enu mengakhiri acara wuat wa,i (acara perpisahan untuk melepaspergikan seseorang ke suatu tempat), wajah sang ibu terlihat sembab. Sesekali mengusap wajahnya dengan telapak tanganya yang sudah keriput termakan usia. "Ende emo retang ga (mama berhenti sudah menangis). Toem nais aku ona tana mbeong (saya tidak lama di tempat perantauan)", ujar Enu kepada sang Ibu bernada membujuk.  Namun, rupanya tangisan sang ibu sebagai tanda tak tega ketika melihat anak gadisnya pergi ke tempat perantauan jauh. Apalagi seorang gadis yang baru lulusan SMA.  "Aku ga toem sanggup (hidupku sudah tidak sanggup melihat keadaan). Kamu bukan laki-laki", kata sang mama meyakinkan Enu dengan nada terbata-bata.  Enu masih tetap masih berkeras hati untuk mencapai apa yang menjadi niat dan impiannya. Enu tetap kuat pada pendiriannya, berpegang pada prinsip dan komitmen.  Setelah acara wuat wa,i, keluarga Enu masih duduk berkumpul untuk duduk bicara menyangkut perjalanan

Ternyata Itu Jemari Tuhan

Segelas kopi setengah manis yang masih panas, sudah setengah habis. Sementara sebuah buku yang hendak kulahap masih parkir rapi di atas meja yang terbuat dari kayu besi. Sesekali mata memandang bilik bumi sebelah barat, matahari malu-malu hendak bersembunyi di balik tirainya.  Sembari seruput minuman yang sisanya setengah gelas, kucoba menjamah buku yang judulnya "Pengembaraan Kaum Ateis Dalam Mencari Tuhan". Buku kenangan dari seorang teman dari luar negeri yang dulunya mengajar di tempat kursus bahasa asing di Jayapura-Papua. Helai demi helai kubuka, kutemukan bab pertama secara gamblang berbicara tentang kebenaran adalah Tuhan menurut kaum ateis.  "Barangkali orang-orang yang percaya Tuhan selama ini salah menilai mereka. Mereka berbicara tentang kebenaran. Mengenal hal yang baik dan buruk. Lantas agama yang saya yakini pun berbicara tentang Tuhan yang adalah kebenaran", batinku. Sementara masih terpaku di kursi tua, pelan-pelan kumenutup lembar demi lembar buku

Guru Kampung Tapi Bukan Kampungan

Siswa SMPN 23 Senopi sedang mendengar arahan guru   Menjadi guru di daerah pedalaman (pelosok) negeri bukan sesuatu yang mudah. Betul-betul mesti memiliki jiwa pengabdian, jiwa militan dan siap menerima konsekuensi apapun. Dengan prinsip "memanusiakan manusia" sebagai spirit penopang untuk tetap menjalankan tugas dan pengabdian. Menghadapi siswa-siswi yang berada di perkampungan (pedalaman) berarti peserta didiknya memiliki latar belakang kebudayaan hampir sama alias berasal dari masyarakat homogen. Situasi belajar dan pembelajaran di pedalaman yang jauh dari hiruk-pikuk suasana perkotaan menjadikan para guru memiliki pengalaman lebih asyik dan catatan sejarah tersendiri.  Itulah gambaran para guru yang sementara ini bertugas di SMPN 23 Senopi, kabupaten Tambrauw Papua Barat. Sekolah ini berada di sisi jalan Trans Papua Barat. Meskipun letak sekolah ini di pelosok kabupaten Tambrauw, namun setidaknya dari segi akses transportasi darat cukup lancar karena menghubungkan dua kot

Kids Zaman Now, Korban Perhambaan Teknologi?

 Istilah 'Kids Zaman Now' lebih diperuntukkan bagi anak-anak atau kalangan yang hidup di zaman sekarang. Perbedaan gaya hidup 'Kids Zaman Old' dan Kids Zaman Now' terletak pada kebiasaan. Kehidupan 'Kids Zaman Old' lebih mendominasi ruang nyata, sementara 'Kids Zaman Now' lebih mendominasi ruang maya. Kids Zaman Old ditandai dengan kesenangan seperti bermain kucing- kucingan, kejar-kejaran. Sedangkan Kids Zaman Now ditandai dengan kesenangan berselancar di internet, bermain game dan sejenisnya.Barangkali itulah yang membedakan Kids Zaman Old dan Zaman Now. Kata Kids sebagai bentuk jamak dari kid, diserap dan diadaptasi dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Kid berarti anak, sedangkan kids berarti anak-anak. Jadi, Kids Zaman Now berarti anak-anak yang hidup dizaman sekarang. Apa yang membedakan kehidupan anak-anak zaman sekarang dan zaman dulu adalah kebiasaan dan gaya hidup. Kids Zaman Now adalah generasi yang lahir tahun 90-an hingga tahun 2000-a

Kata-Kata Berkuasa

 Kata-kata ibarat mainan Sesuka-sukanya siapa Tapi siapa mempermainkan kata-kata jadi mainan Sebab kata-kata berkuasa  Perang dan damai karena kata-kata Pun susana bersolek kegembiraan atau kesedihan, tawa dan tangisan Kata-kata berbisa karena salah kata Kata bisa makan tuan karena berkata 'bisa' Berkatalah dengan kata-kata penuh 'sedap' agar jangan tiarap